Sains Kok Eksklusif?
“Takhayul Membakar Dunia, Filsafat Memadamkannya.” — Voltaire
KETIKA saya SMA kelas 3 (sekarang kelas 12) jumlah kelas jurusan eksak (IPA) hanya ada dua kelas. Sementara, jurusan sosial (IPS) berjumlah 2 kali lipatnya. Saat itu kami berpendapat anak IPA adalah “anak-anak pilihan.” Kelas bagi murid dengan “kecerdasan” lebih. Kumpulan anak rajin, lebih-lebih ketika saya ingat kembali rata-rata anak IPS memang geng berandal yang doyan bikin guru menangis, suka bolos, lompat pagar sekolah untuk rental Playstation, atau berkelahi.
Saya tumbuh dengan mitos yang mendistorsi jurusan IPS kastanya lebih rendah dari IPA. Entah kapan persisnya mitos ini lahir, namun generasi yang lahir di akhir tahun 1960-an sudah mendapat dogma demikian. Apakah ini imbas Perang Dingin? Butuh penelitian lebih lanjut untuk hal itu.
Anak-anak IPA selalu diidentikkan dengan masa depan cemerlang: diterima di universitas unggulan, bekerja sebagai dokter atau pilot, dan hampir pasti dapat penilaian plus di mata calon mertua. Anak IPS? Paling banter mereka tampil di televisi, itupun saat demonstrasi. Dalam suatu momen saya pernah menyaksikkan orang tua merasa kecewa ketika anaknya diterima di jurusan IPS.
Mitos itu begitu kental hingga membuat sebagian orang minder sebelum melamar kerja. Membayangkan HRD akan menilai curriculum vitae dari seberapa banyak demo yang pernah ia ikuti. Belum lagi peran media film atau sinetron yang ikut membentuk gambaran ideal apabila tokoh utamanya seorang ilmuwan, dokter, atau insinyur.
Ilmu eksak yang erat dengan sains tidak dapat dipungkiri adalah pengetahuan yang memberikan pencerahan pada dunia. Copernicus, Galileo, Newton, hingga Bill Gates adalah jaminan mutu yang pernah sains lahirkan. Tidak cukup dengan mendatangi bulan, kini orang memulai rencana migrasi ke Mars ketika Stephen Hawking memprediksi umur Bumi tinggal tersisa satu milenium. Segala vaksin atau obat tidak bisa lahir dari tangan dukun. Dan sekarang kita berada di era Revolusi Industri ke-4 dimana sains adalah bahan bakar utamanya.
Lalu, bagaimana di negara kita?
Berangkat dari mitos bahwa IPA lebih unggul dari IPS seharusnya pendidikan sains di Indonesia lebih baik dari yang kita rasakan sekarang. Kenyataan yang terjadi sebaliknya: sains “kalah” populer dengan mistik atau klenik. Investasi pemerintah kepada sains masih belum maksimal karena jumlah laboratorium dan akses ke ruang pengetahuan kalah dibanding jumlah mall.
Di masa pandemi Corona mitigasi sains tidak berjalan optimal. Pemerintah salah langkah ketika outbreak pertama di Wuhan. Ilmu yang diagungkan akan membawa angin segar itu malah kalah pamor dengan praktik perdukunan. Banyak hoax Corona yang viral menyesatkan. Sementara media ikut mem-blow-up hal itu, kabar ilmuwan Indonesia yang meneliti vaksin di laboratorium justru sepi terdengar.
Sains adalah jalan keluar dari pandemi. Itu mutlak. Pasca-Corona pun seharusnya orang “kembali” ke sains karena kedepan dunia ini tidak akan lagi sama. Negara yang menemukan vaksin Corona akan memiliki privilege dari negara-negara lain. Namun demikian, untuk membuat orang kembali pada sains ia juga tidak bisa terlihat terlalu grande sehingga orang malah menjauh. Kapal sains bukanlah Titanic yang hanya mengizinkan orang tertentu saja naik ke atasnya. Kapal sains haruslah seperti bahtera Nuh.
Problematikanya adalah bagaimana membuat sains tidak terlihat berat, mewah, atau eksklusif. Di periode tahun 2010-an masyarakat sebenarnya telah lebih terbuka menerima bahwa jurusan IPA atau IPS setara. Saling melengkapi dan tidak ada yang lebih eksklusif dibanding yang lain. Ini terobosan pemahaman dari guru dan orang tua yang mungkin mengalami masa-masa seperti yang saya rasakan saat SMA.
Sains bukan hanya soal mengajarkan matematika, tetapi juga cara berpikir logis, runut, dan sistematis. Dan itu berlaku untuk semua ilmu, bahkan ilmu filsafat sebagaimana jargon Voltaire di atas.
Membuat tempat MCK dan memasang pompa air bersih di dusun itu praktis. Me-mindset orang dusun agar tidak BAB sembarangan itulah sains.
Di generasi orang tua saya sains diajarkan keliru sehingga hanya berfokus pada angka dan bukan pemahaman atau cara berpikir. Ketika sains diajarkan demikian, orang yang tidak mendapat pemahaman serupa butuh rasa aman. Siklus ini berulang dari generasi ke generasi. Orang yang pergi berobat ke dukun Corona belum tentu ia tidak mengerti sains. Bisa saja ia butuh rasa “aman” dari peristiwa yang belum ia mengerti.
Orang perlu merasa aman dari penyakit atau kuman. Sementara pencegahannya sederhana: cuci tangan dengan sabun. Sangat basic. Namun hal yang mendasar bagi orang yang tidak mendapat pemahaman dan dengan cara yang ia mengerti akan butuh jalan pintas lain. Ia pergi ke dukun karena membuatnya nyaman ketimbang menunggu vaksin berbulan-bulan.
Cara berpikir dan memahami inilah yang hilang di masyarakat. Pendekatan dengan bahasa tinggi semacam biogenesis, molekuler, Artificial Intelligence, dan kata-kata lain yang populer di era Industri 4.0 tidak akan terasa “nyaman” bagi banyak orang bila sains masih terlihat eksklusif layaknya kelas IPA dulu.
Jika semangat Industri 4.0 adalah melesat dengan roket sains, maka para kaum terdidik di negeri ini harus dapat membumikan sains ke berbagai layer masyarakat dengan bahasa paling sederhana. Pemerintah mengalokasikan anggaran untuk investasi dalam bentuk perpustakaan, museum, laboratorium, dan piranti lainnya sehingga orang memiliki akses ke ruang pengetahuan yang setara. Sebenarnya justru inilah tantangan terbesar Revolusi Industri 4.0 di Nusantara.
Jika ramalan Hawking benar maka nanti sains akan mengantar kita migrasi ke Mars. Tentu itu sangat menarik. Namun bagaimana jika kita tidak perlu membuat kapling di sana dan mengupayakan “science for all” untuk memulihkan hal-hal yang baik di Bumi ketimbang meninggalkannya?